Sesuatu di Jogja: Antara Romantisme dan Rasa Sepi

- Penulis

Minggu, 2 November 2025

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Jogja, Terbawa lagi langkahku kesana, Mantra apa entah yang istimewa, Ku percaya selalu ada sesuatu di Jogja

Penggalan lirik lagu “Sesuatu di Jogja” merupakan salah satu dari sekian banyak lagu yang meromantisasi Jogja. Tak hanya itu, dalam lagu milik Adhitia Sofyan tersebut juga tersirat makna mendalam tentang betapa mengesankannya Kota Jogja. Keraton, lampu-lampu Malioboro, dan para seniman jalanan menambah romantisme yang dicari banyak orang. Nuansa inilah yang membuat siapa pun betah berlama-lama di kota ini. Tak heran, GoodStats 2024 menobatkan Jogja sebagai kota impian nomor satu bagi para turis.

Paradoks di Kota Impian

Di balik pesona Kota Jogja yang begitu banyak, ternyata ada hal yang disimpan oleh kota ini. Dari keindahan yang dimiliki Jogja, muncul perasaan hangat namun sunyi—sebuah rasa yang sering disebut kesepian. Hal ini terbukti melalui data yang dihasilkan oleh Tim Jurnalisme Data Harian Kompas pada Juli 2025. Data tersebut menunjukan bahwa Daerah Istimewa Yogyakarta menempati posisi teratas sebagai provinsi paling rentan kesepian di Indonesia. Angka tersebut tidak main-main, yakni sekitar dua dari tiga warga yang tinggal di Jogja mengaku setidaknya merasakan kesepian sekali dalam sepekan.

Paradoks ini semakin jelas ketika dikaitkan dengan nilai kolektivisme yang sejak lama melekat dalam budaya Jawa, termasuk di Jogja. Masyarakat Jogja tumbuh dengan falsafah hidup yang menekankan kebersamaan dan gotong royong. Namun, data tersebut justru menunjukan hal sebaliknya, yakni di tengah kuatnya nilai kolektif, warganya rentan merasa sendirian. Fenomena ini tak hanya tercermin dalam angka, tetapi juga dalam kisah nyata para perantau yang hidup di kota ini. Inilah yang membuat fenomena kesepian di Jogja menjadi paradoks kultural di balik slogannya yang penuh rindu.

Cerita tentang perantau hadir dari sosok Rani (bukan nama sebenarnya), mahasiswi asal Sumatera Barat yang baru setahun lebih merantau di Jogja untuk berkuliah. Keputusan untuk melanjutkan pendidikan di kota pelajar ini adalah salah satu keputusan terbaik dalam hidupnya. “Siapa sih yang gak tahu kalau Jogja itu istimewa? Orang-orang bilang kalau di sini itu bikin nyaman. Dan ternyata aku merasa bahwa itu (jogja nyaman) 80% benar,” ujarnya. Meskipun betah, Rani tetap tidak bisa lepas dari rasa sepi sebagai perantau. “Sering merasa sepi, apalagi kalau capek. Dulu kalau pulang ke rumah pasti ramai, sekarang pulang ke kos gak ada siapa-siapa,” tuturnya. Ia mengaku, aktivitas bersama teman-teman di kampus dapat menjadi penawar rindu tetapi saat pintu kosnya tertutup lagi, kesunyian kembali datang.

Fenomena Kesepian di Mata Psikologi

Sutarimah Ampuni, S.Psi., M.Si., M.Psych., Ph.D., Psikolog, dosen Psikologi Universitas Gadjah Mada, memberikan pandangannya mengenai fenomena kesepian yang marak terjadi belakangan ini. Menurutnya, kesepian muncul akibat kegagalan individu untuk being connected dengan lingkungannya. Karena sifatnya subjektif, banyak orang yang tampak normal di permukaan, padahal sebenarnya merasa kesepian. Kesepian yang dibiarkan berlarut-larut dapat berkembang menjadi depresi. Ia mengingatkan agar seseorang tidak membiarkan dirinya terjebak dalam rasa kesepian karena efeknya bisa beragam, hingga memicu perasaan depresif. Baginya, fenomena kesepian menjadi teka-teki baru yang perlu dikaji lebih dalam oleh dunia psikologi.

Lebih lanjut, ia menyebutkan bahwa faktor penyebab kesepian sangat beragam, baik dari sisi internal maupun eksternal. Dari sisi internal, kesepian dapat dipengaruhi oleh kepribadian individu—apakah mudah bergaul, terbuka, atau cenderung menutup diri. Selain itu,  kebiasaan membandingkan diri dengan orang lain, memiliki pengalaman traumatis, dan merasa tidak nyaman dalam lingkungan sosial juga dapat memperkuat perasaan sepi. Semua itu berkaitan dengan resistensi psikologis individu.

Di Jogja, kota yang kehidupannya didominasi oleh mahasiswa, Sutarimah melihat tekanan akademik dan sosial turut memperparah kondisi ini. “Dorongan untuk menjadi lebih baik dari orang lain, overthinking, persaingan yang terlalu kompetitif, dan perasaan ‘saya tidak cukup baik’ harus dikendalikan oleh mahasiswa,” jelasnya.

Dari sisi eksternal, berbagai faktor sosial juga berperan besar dalam memicu rasa kesepian. Faktor-faktor tersebut antara lain pelabelan sosial—pemberian cap oleh masyarakat—maraknya berita tentang kesepian, dan kebiasaan hidup di dunia virtual. Sutarimah juga mengatakan bahwa banyak anak sekarang sepulang sekolah langsung bermain gawai daripada berinteraksi dengan keluarga. Beliau menegaskan solusi yang dapat dilakukan adalah menjaga keseimbangan antara dunia maya dan dunia nyata.

Bagaimana Sosiologi Memaknai Rasa Sepi? 

Di ranah sosiologi, Wahyu Kustiningsih, S.Sos., M.A., seorang sosiolog sekaligus dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM ikut memberikan keterangannya mengenai fenomena ini melalui sudut pandang masyarakat. Beliau menuturkan jika perubahan struktur kependudukan akibat semakin bertambahnya pendatang di Jogja dapat menjadi penyebab kesepian. Kaum pendatang lebih rentan kesepian karena mereka hidup jauh dari akar budayanya dan harus melalui proses penyesuaian yang tidak mudah. “Proses adaptasi dan pembangunan relasi sangat bergantung pada aktor-aktor yang ada (pendatang dan karakteristik masyarakat sekitar), tidak bisa dibebankan pada satu pihak saja. Masyarakat yang terbuka dan individu yang terbuka akan membuat adaptasi lebih mudah,” ungkapnya.

Selain faktor pendatang, Beliau juga menuturkan bahwa warga asli pun dapat merasakan kesepian terutama mereka yang termasuk dalam kelompok marginal dan rentan. Kelompok marginal tersebut diantaranya, orang miskin, orang terpinggirkan, perempuan, pemuda, dan anak-anak. Hal ini juga berkaitan dengan status Jogja yang menjadi salah satu daerah dengan ketimpangan sosial ekonomi tertinggi di Indonesia berdasarkan perhitungan gini rasio (BPS, 2025). Kegagalan penguatan ekonomi komunitas dan segregasi akibat ketimpangan ini dapat memicu masyarakat masuk ke kondisi anomie yakni perasaan kesepian hingga kriminalitas. Kurangnya kebijakan sosial dan ekonomi serta ruang publik bagi semua kalangan sebagai tempat aktualisasi diri juga menjadi penyebab mengapa kelompok marginal akan sangat rentan merasa sepi.

Selain dua penyebab tersebut, pengaruh teknologi informasi tak luput mengambil peran dalam mendorong masyarakat Jogja ke jurang kesepian. Sebagaimana dijelaskan dalam teori society risk oleh Ulrich Beck, kemajuan teknologi akan membentuk masyarakat modern yang sarat risiko, termasuk risiko kesepian. “Ibaratnya dunia anak muda kini berada dalam genggaman (online), seolah bisa melakukan banyak hal, tapi kenyataannya nggak sesuai ekspektasi. Jadi ada gap. Semakin besar gap, dia nggak bisa meng-counter itu (rasa kesepian),” tambahnya. Digitalisasi yang berimbas pada pergeseran nilai kolektivisme ke individualisme juga akan melemahkan modal sosial sehingga sulit untuk menciptakan hubungan keberlanjutan di antara masyarakat. Dinamika perubahan yang sangat masif ini pada akhirnya akan bermuara pada fenomena kesepian.

Nilai Kolektif Sebagai Solusi 

Untuk mereduksi potensi kesepian, dibutuhkan kebijakan yang inklusif dan berpihak pada semua kelompok sosial. Ketika sebagian warga tidak memiliki ruang aman untuk mengekspresikan diri, rasa terasing pun menjadi hal yang tak terhindarkan. Oleh karena itu, pemerintah daerah dan lembaga sosial setempat perlu memastikan bahwa setiap kebijakan dan ruang publik dapat diakses secara setara agar setiap orang merasa diakui dan terhubung dengan lingkungannya.

Selain itu, pencegahan kesepian juga dapat dilakukan dengan memperkuat modal sosial masyarakat dengan kepercayaan, jejaring sosial, dan relasi yang bermakna. Kesepian bukan hanya soal nihilnya interaksi, melainkan juga absennya hubungan yang tulus. Masyarakat yang saling percaya, terbuka, dan mau beradaptasi akan lebih tahan terhadap gejala keterasingan di tengah modernitas. Dengan demikian, individu tidak akan berdiri sendiri karena mereka mampu untuk menjadi bagian dari jejaring sosial yang hidup dan berdaya.

“Sesuatu” yang Lain

Fenomena kesepian di Yogyakarta menjadi paradoks yang menarik di tengah citranya sebagai kota penuh kehangatan dan kebersamaan. Di satu sisi, Jogja menawarkan ruang bagi kreativitas, pendidikan, dan budaya yang hidup. Namun, di sisi lain, modernisasi, kesibukan, serta pergeseran nilai kolektif justru menciptakan jarak emosional antarindividu. Kesepian di kota ini bukan hanya urusan personal, melainkan persoalan sosial yang memerlukan perhatian serius dari berbagai pihak, mulai dari kebijakan pemerintah, lingkungan akademik, hingga ruang-ruang komunitas yang mampu menghidupkan kembali makna kebersamaan. Mungkin, “sesuatu” di Jogja tidak hanya sekadar tentang hangatnya kebersamaan yang menciptakan rasa rindu, tetapi juga rasa sunyi yang menjadi ruang refleksi bagi para penghuninya.

Penulis: Najwa Anggi Namira & Alvis Anjabie/EQ

Follow WhatsApp Channel www.terasnagarinews.com untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Barito kini

Kapolresta Bukittinggi Pimpin Apel Kesiapsiagaan Bencana, Tingkatkan Koordinasi dan Mitigasi Risiko
Ray Vandra Babinkamtibmas Matur, Manfaatkan Aplikasi “Zello Walkie Talkie” Jaga Keamanan Lingkungan
Kolaborasi BUMNag, Pemerintahan Nagari Koto Rantang dan Bank Nagari, Wujudkan Pembangunan Bersinergi
Peduli Tumbuh Kembang Anak sejak Dini
Antisipasi terhadap kerja yang beresiko, BPJS tenaga kerja hadir ditengah masyarakat memberikan solusi
Diduga Membuka Lahan, Bukik Campago Bukittinggi Terbakar
Asril SE:DPRD Siap Fasilitasi Koperasi Dinas jadi Ujung Tombak Perencanaan Dan Evaluasi
Kapolresta Bukittinggi Lepas Atlet Karate Berprestasi ke Popnas Jakarta

Barito kini

Rabu, 5 November 2025 - 05:29 WIB

Kapolresta Bukittinggi Pimpin Apel Kesiapsiagaan Bencana, Tingkatkan Koordinasi dan Mitigasi Risiko

Rabu, 5 November 2025 - 02:03 WIB

Ray Vandra Babinkamtibmas Matur, Manfaatkan Aplikasi “Zello Walkie Talkie” Jaga Keamanan Lingkungan

Selasa, 4 November 2025 - 13:17 WIB

Kolaborasi BUMNag, Pemerintahan Nagari Koto Rantang dan Bank Nagari, Wujudkan Pembangunan Bersinergi

Minggu, 2 November 2025 - 12:37 WIB

Peduli Tumbuh Kembang Anak sejak Dini

Minggu, 2 November 2025 - 11:36 WIB

Sesuatu di Jogja: Antara Romantisme dan Rasa Sepi

Iko baru barito

Info daerah

Peduli Tumbuh Kembang Anak sejak Dini

Minggu, 2 Nov 2025 - 12:37 WIB

Info daerah

Sesuatu di Jogja: Antara Romantisme dan Rasa Sepi

Minggu, 2 Nov 2025 - 11:36 WIB