Bukittinggi– Kebijakan pemerintah pusat memangkas transfer ke daerah (TKD) tengah menjadi bahan perbincangan hangat. Banyak pemerintah daerah merasa keberatan karena langkah ini langsung memengaruhi kemampuan mereka membiayai berbagai program. Tidak semua daerah punya kemandirian fiskal; sebagian besar masih bergantung pada dana pusat untuk menjalankan roda pemerintahan.
Isu ini makin ramai ketika wacana pemotongan alokasi belanja pegawai ikut mencuat—mulai dari Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP), pelatihan, hingga peningkatan kompetensi. Sebagian masyarakat menilai efisiensi memang perlu dilakukan agar pengelolaan anggaran lebih hemat dan tepat sasaran. Namun di sisi lain, muncul kekhawatiran bahwa kebijakan ini bisa.
menurunkan semangat kerja ASN, terutama di tengah dorongan besar menuju reformasi birokrasi yang profesional dan berintegritas.
Perdebatan pun menghangat. Kelompok yang mendukung menilai pemangkasan TKD bisa mendorong pemerintah daerah lebih disiplin dan efisien dalam menggunakan anggaran. Sementara yang menolak menilai langkah ini justru berisiko memukul motivasi ASN dan menimbulkan
ketidakpastian psikologis. Di tengah tarik-menarik itu, yang paling rentan sebenarnya adalah kepercayaan ASN terhadap konsistensi arah kebijakan pemerintah.
Padahal, tuntutan profesionalisme ASN saat ini makin tinggi. Publik berharap aparat negara tidak hanya menjalankan tugas administratif, tapi juga hadir dengan kinerja yang inovatif, cepat, dan berorientasi pelayanan. Masalahnya,
profesionalisme tidak tumbuh begitu saja. Ia butuh dukungan—dari pelatihan yang memadai, sistem penghargaan yang adil, hingga kepastian kesejahteraan.
Dalam manajemen sumber daya manusia, ada istilah psychological contract—kesepahaman tak tertulis antara pegawai dan organisasi tentang saling memberi antara kinerja dan penghargaan. Jika kontrak ini dilanggar, semangat dan loyalitas bisa menurun. Herzberg bahkan menegaskan dalam teori motivasinya bahwa gaji dan insentif adalah faktor hygiene: tidak selalu membuat orang lebih termotivasi, tapi jika diabaikan, bisa memunculkan ketidakpuasan kerja.
Karena itu, efisiensi seharusnya dilakukan dengan bijak. Pemerintah daerah perlu menimbang keseimbangan antara penghematan dan hak pegawai. Efisiensi bukan berarti memangkas secara membabi buta, melainkan menata ulang prioritas agar setiap rupiah benar-benar menghasilkan dampak bagi masyarakat. Penghargaan, insentif, dan kesempatan peningkatan kompetensi tetap harus dijaga sebagai wujud keadilan dan penghormatan terhadap profesionalisme.
Namun di sisi lain, ASN juga perlu berkaca. Profesionalisme sejati justru diuji ketika situasi tidak ideal. ASN yang berintegritas akan tetap berupaya memberikan yang terbaik, sekalipun dalam keterbatasan. Sejarah menunjukkan, birokrat yang paling dihormati bukan mereka yang bekerja di masa serba mudah, tetapi yang tetap berdedikasi di tengah kesulitan.
Pemangkasan TKD bisa menjadi momentum perubahan. Pemerintah daerah dituntut lebih selektif dalam menentukan program, lebih fokus pada hasil, dan lebih terbuka dalam mengelola anggaran. Masyarakat pun perlu diajak melihat kebijakan ini dari sudut yang lebih konstruktif. Efisiensi bukan berarti kemunduran, melainkan kesempatan untuk menata ulang sistem agar birokrasi lebih adaptif, hemat, dan berdampak nyata.
Oleh: Dr. Mira Syahraini.SE.MM.CFrA
(Pemerhati Kebijakan dan Manajemen Publik)






