Agam – Di tengah derasnya arus modernisasi dan kemajuan teknologi, tradisi lisan Minangkabau seperti pasambahan mulai jarang terdengar. Pasambahan, yang merupakan seni berbicara adat dalam berbagai acara seperti pernikahan, batagak gala, dan alek nagari, kini hanya dikuasai oleh segelintir orang tua. Kondisi ini menjadi perhatian para pemerhati budaya yang khawatir jika generasi muda tidak segera belajar, tradisi tersebut bisa hilang dalam beberapa dekade ke depan.
Pasambahan memiliki peran penting dalam kehidupan masyarakat Minang. Selain menjadi media komunikasi adat, pasambahan juga sarat dengan nilai sopan santun, penghormatan, serta kebijaksanaan hidup. Melalui pasambahan, generasi muda dapat belajar bagaimana berbicara dengan bahasa yang santun, terstruktur, dan penuh makna. Hal ini menjadi modal penting bagi mereka untuk membangun karakter dan etika dalam kehidupan sehari-hari.
Sayangnya, perkembangan era digital membuat generasi muda lebih akrab dengan media sosial dibandingkan dengan tradisi lisan. Banyak remaja Minang yang tidak lagi memahami makna pasambahan, apalagi menguasainya. Beberapa di antara mereka menganggap pasambahan kuno dan tidak relevan dengan zaman sekarang. Padahal, jika dipelajari, pasambahan bisa menjadi keterampilan berharga, bahkan dapat ditampilkan dalam berbagai kegiatan budaya untuk menarik wisatawan.
Sejumlah tokoh adat dan budayawan Minangkabau mulai menginisiasi program pelatihan pasambahan untuk remaja. Pelatihan ini digelar di beberapa nagari dan sekolah, dengan tujuan mengenalkan sekaligus melatih generasi muda agar mampu tampil sebagai urang sumando atau penghulu yang fasih berpasambahan. Program ini diharapkan dapat menghidupkan kembali tradisi yang hampir punah tersebut.
Guru dan orang tua juga memiliki peran penting dalam menanamkan kecintaan terhadap pasambahan. Sekolah dapat memasukkan muatan lokal pasambahan dalam kegiatan ekstrakurikuler, sementara orang tua bisa memberi contoh dengan mengajak anak menyaksikan alek nagari atau acara adat di kampung. Upaya ini dapat menumbuhkan rasa bangga terhadap budaya sendiri sejak dini.
Pemerintah daerah pun diharapkan turut mendukung pelestarian pasambahan dengan menyediakan fasilitas belajar, lomba pasambahan, hingga festival budaya. Dengan adanya dukungan dari berbagai pihak, pasambahan tidak hanya terjaga, tetapi juga dapat dikembangkan menjadi daya tarik wisata budaya yang bernilai ekonomi bagi masyarakat.
Generasi muda Minangkabau perlu menyadari bahwa menjaga pasambahan bukan sekadar melestarikan tradisi, tetapi juga memperkuat identitas diri. Di era globalisasi, memiliki akar budaya yang kuat justru membuat mereka lebih percaya diri dan siap menghadapi tantangan zaman. Pasambahan dapat menjadi pembeda positif yang membedakan generasi Minang dari generasi lain di dunia.
Jika pasambahan terus diajarkan dan dipraktikkan, Minangkabau akan tetap dikenal sebagai daerah yang kaya budaya dan beradab tinggi. Modernisasi seharusnya tidak menjadi ancaman, melainkan peluang untuk memperkenalkan pasambahan ke dunia luar melalui media digital. Dengan begitu, tradisi ini bisa tetap hidup, relevan, dan menginspirasi banyak orang di era modern ini.
(*)