TERAS NAGARI.com – Di teras rumah kecil itu, matahari sore jatuh pelan-pelan, seperti menghormati sepasang jiwa yang duduk di bangku kayu lapuk. Jemari mereka saling bertaut, meski tak lagi selembut dulu. Keriput, kaku, dan sedikit gemetar. Namun genggamannya tetap hangat.
Angin sore berembus, mengibaskan rambut putih di pelipis wanita itu. Matanya menatap langit, memandangi awan yang bergerak perlahan. Sejenak ia menghela napas panjang, seolah membuang segala letih yang masih tersisa.
“Masih ingat pertama kali kita bertemu?” suaranya lirih, hampir tertelan angin. Namun lelaki di sampingnya mendengar jelas.
Laki-laki itu tersenyum samar. “Bagaimana aku bisa lupa? Kau marah karena aku menabrak sepeda barumu.”
Wanita itu terkekeh, tawanya pelan namun tulus. “Dan kau menggantinya dengan bunga liar. Sungguh hadiah paling aneh yang pernah kuterima.”
“Tapi sejak itu kau mau bicara denganku,” jawab sang suami, matanya berbinar tipis. Ada kebahagiaan kecil yang menghangatkan dadanya setiap kali ia mengingat momen itu.
Mereka tertawa bersama, meski suara mereka kini tak lagi lantang. Waktu telah memakan banyak hal—energi, kesehatan, bahkan sebagian ingatan. Tapi waktu juga menghadiahkan sesuatu: kebersamaan yang tak tergoyahkan.
Jemari mereka pernah begitu lembut. Mereka pernah saling menggenggam dalam tarian malam, dalam perjalanan panjang, dalam suka dan duka yang silih berganti. Kini, kulit itu kasar, penuh cerita. Tapi setiap garisnya adalah bukti cinta yang tidak pernah pergi.
“Aku tak lagi sekuat dulu,” ucap lelaki itu, suaranya hampir seperti bisikan. Pundaknya sedikit membungkuk, napasnya terdengar berat.
Wanita itu menoleh, menatap wajahnya lama. “Kita tak perlu kuat,” katanya lembut. “Kita hanya perlu terus ada. Sampai akhir.”
Senja merayap lebih dalam, angin membawa aroma tanah basah dari kebun belakang. Burung-burung kecil mulai kembali ke sarang, seperti mengingatkan mereka bahwa hari akan segera berganti malam.
“Aku bersyukur,” lelaki itu berujar pelan. “Bersyukur kita sampai sejauh ini. Banyak orang yang menyerah di tengah jalan.”
Wanita itu tersenyum, jemarinya mengusap punggung tangan suaminya yang keriput. “Kita tidak pernah sempurna. Kita sering bertengkar, saling kecewa. Tapi kita selalu kembali. Itu yang membuat kita sampai di sini.”
Mereka tidak berkata-kata lagi, hanya duduk berdampingan, menatap langit yang perlahan memerah. Di keheningan itu, mereka merasakan detak jantung masing-masing, mengalirkan ketenangan yang sulit dijelaskan.
Cinta mereka memang tidak seindah puisi remaja. Tidak penuh janji manis atau kata-kata besar. Tapi cinta itu telah menua bersama mereka, mengeras seperti kayu bangku yang mereka duduki, namun tetap kokoh.
Ketika jemari tidak lembut lagi, cinta mereka justru terasa lebih hangat. Karena cinta sejati, seperti senja, tidak pernah benar-benar pergi—ia hanya berubah warna, menjadi lebih dalam, lebih tenang.
(BS)